Rabu, 23 Juli 2014

Pengorbanan

Pengorbanan by @_khurul
Yang request Rify ini lunas ya:D semoga tidak mengecewakan.

*****
"Ify gue pengen getok elo nih. Sumpahh dedek gue sama lo." teriak Rio dari dalam kelas, ia mencari buku PR yang disabotase Ify didalam tasnya.

"Gedek Rio bukan dedek aiiisssh." jawab Anin yang ternyata ikut mencari buku PR Rio, ia tak tega melihat Rio bergulat mencari bukunya sendirian.

"Dimana sih bukunya, frustasi gue. Bu Aidha jam pertama ini wooy!!" Rio menjambak rambutnya frustasi karena tak menemukan buku PR nya.
"Salah lo sih mau aja pinjemin PR lo ke Ify." ucap Anin menyalahkan Rio, ia membuka tas Ify dan menggledah isinya.

"Nyesel gue sumpah. Kenapa penyesalan datengnya belakangan sih bukan diawal. Ify lo dimana ."

"Iyalah penyesalan datangnya di belakang kalo di awal namanya pendaftaran." ujar Anin terkikik, tangannya menemukan sesuatu yang mungkin bisa di bilang Gila. Ia melirik kearah Rio yang tengah mencari didepan meja guru(?)

"Haha kok lo ngomong gitu unyu banget Nin?" Rio berjalan mendekati Anin.
"Eh lo nyembunyiin apa sih tuh." lanjut Rio ingin tahu apa yang dipegang Anin.

"Gakpapa Yo, gue cari Ify dulu ya. Dadah Rio." Anin nyengir kearah Rio dan berlari keluar kelas.

"Eh tapi buku PR gue belum ketemu Wooy." teriak Rio -lagi-
"Buku lo sama Cakka kayaknya. " terdengar suara Anin yang samar.

"Punya temen kok nggak ada yang waras sih. Udah tau sama Cakka kenapa dia ikutan cari??" gumel Rio heran, ia melangkah keluar kelas mencari Cakka.
*****
Ify tengah menyendiri di taman sekolah, ada yang harus ia renungi untuk saat ini. Tentang hati dan juga perasaan nya.
"Ternyata logika selalu salah dalam mencari cinta. Ahhhh Gue GALAU."

"Galau karena ini?" tanya Anin tiba-tiba dan langsung duduk disamping Ify. Tangannya menyodorkan kertas yang sudah cukup kusam ke tangan Ify.

Ify membuka matanya lebar-lebar melihat kertas yang disodorkan Anin.
"Heh lo nemuin ini dimana? Lo .. lo. tau ini. Jangan bilang siapa-siapa plisssss." mohon Ify dengan muka melasnya, tangannya ia tangkupkan didepan wajah Anin.

"Gue sih nggak bakal bilang ya Fy, tapi kalo orang yang lo sebut tau gimana?"

"Ya jangan sampai tau lah Anin sayang." jawab Ify tersenyum kecut. Ada yang mengganjal hatinya saat ini.
"Lo mulai kapan suka sama Rio Fy?" tanya Anin kepo, ia memandang aneh kearah Ify yang tengah meremas kertas yang ia temukan dan membuangnya.

"Dulu, sejak gue ketemu Rio waktu Mos." Ify menghela nafas panjang dan menyandarkan kepalanya di bahu Anin.

Anin mengangguk anggukan kepalanya dan membiarkan Ify bertingkah seenaknya.
"Kenapa lo nggak suka sama gue sih Fy, lo kan kenal gue duluan daripada si Rio."

"Maaf ya Nin, tapi gue masih waras buat suka sama lo." Ify tertawa dengan posisi yang sama. Ia tahu sudah seharusnya ia berbagi dengan sahabatnya sejak dulu, tidak menyimpannya sendiri hingga menjadi beban yang menakutkan.
"Sialon lo Fy,eh tapi gue dukung lo kok buat suka sama Rio. Walaupun ya orang bilang sih lo sekarang dalam lingkaran friendszone ya." Anin merogoh ponselnya dan mendapati pesan bahwa sekolah diliburkan karena ada asap tebal(?)

"Kenapa?" tanya Ify saat melihat Anin malah tersenyum garing.
"Sekolah diliburin Fy." Anin menjawab singkat dan meneruskan mengotak-atik ponselnya.

"Lo nggak nyalahin gue karena suka sama Rio? lo tau kan Rio juga sahabat kita?"

"Ify yang maniis, harus berapa kali sih gue bilang. Sahabat itu nggak harus membenarkan dan menyalahkan, sahabat itu cuma negur saat lo berbuat salah. Dan untuk perasaan lo ke Rio gue anggep sih wajar, secara apa yang lo bilang tadi yang nggak wajar itu saat lo suka gue." jelas Anin panjang lebar, ia mengangkat kepala Ify dari bahunya.

"Makasih ya sudah mau jadi sahabat gue." lanjut Anin tulus dan langsung memeluk Ify erat.
Ify yang kaget mendengar penjelasan Anin barusan mencoba mempercayai gendang telinganya. Siapa tau ia salah dengar kan.
"Lo kejedot di pintu mana sampe bijak gitu omongan lo." tanya Ify polos saat Anin melepas pelukannya.

"IFfffffyyyyyy "

****

"Rio pulang pah." teriak Rio saat memasuki rumahnya.
"Oh Rio, kebetulan tolong anterin tante Runa pulang ya. Papah buru-buru, kamu nggak papa kan?" ujar Seta meminta tolong pada Rio, memang, sebentar lagi tante Runa akan menjadi nyokap baru Rio. karena nyokap asli(?) Rio sudah pergi jauh.
"Oke pah, Rio ganti baju dulu tante." Rio sedikit berlari kearah kamarnya.

Sampai dikamar, Rio tak langsung mengganti baju, ia mengambil sesuatu dari saku celananya.

"Rio cepet kasihan tante Runa nungguin." teriak papahnya dari bawah, membuat Rio urung membuka kertas tersebut dan memilih segera mengganti baju nya.
"Yuk tan.." ajak Rio, ia sudah mengganti seragamnya dengan baju santai.

"Oh ya, ayo. Maaf ya tante ngerepotin." ujar Runa lembut, dan dibalas anggukan dari Rio.

Didalam mobil, Rio dan Runa mengobrol banyak, mulai dari kegiatan Rio disekolah, hobi sampai nasihat yang Runa berikan membuat Rio tersenyum senang.
"Seenggaknya ibu tiri gue nggak sejahat kota metropolitan." pikir Rio.

"Ke kiri Rio, nanti ada gang masuk yah." Runa memberi arahan ketika mobil Rio sudah sampai gerbang perum.
"Oke tan." Rio langsung mengikuti arahan Runa. Dan sampailah didepan rumah yang tidak terlalu besar namun cukup rindang dengan berbagai tanaman didepannya.

"Masuk dulu yuk. Ketemu anak tante, sepertinya dia dirumah." ajak Runa.
"Nggak usah tan, Rio buru-buru nih. Lain kali janji deh Rio mampir."
"Bener ya, lain kali mampir. Hati-hati dijalan."

"Sipp, byee tan."

Rio berjalan pelan keluar dari perum, ia akan tidur siang setelah ini.
*****
Rio masuk kedalam kamarnya dan ia ingat sesuatu tentang kertas yang dibuang Ify tadi waktu ditaman, sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan Ify dan Anin.
"Apasih yang mereka bicarain sampe pelukan nggak ngajak gue." gumam Rio saat tangannya mencari kertas yang ia taro dilaci meja belajarnya.

Rabu,17 November 2013

Gilla, ini benar-benar gilla. Gue gak tau ini namanya apa, tapi yang jelas gue selalu deg deg degan deket Rio, suka salting pas deket Rio. Gue kenapa coba,gue suka cari masalah sama dia supaya ngilangin salting gue dan supaya Rio selalu deket gue. Ahhh pusing.. Rio kalo gue suka sama lo, apa lo nerima gue? atau jangan-jangan lo pergi ngejauhin gue. RIOOO i love you mungkin.

Ify Arkhaeta :*

Rio terbengong setelah membaca barisan kata diatas. IFY... oh god.
"Gue juga suka sama lo Fy. " gumam Rio pelan, ia menyimpan kertas tersebut dan segera memilih tidur. Ada rasa hangat yang menyelimuti hatinya. Setidaknya rasa ini tidak bertepuk sebelah tangan.
*****
Ify memarkirkan sepeda nya dan berjalan menuju kelas, ia menghembuskan nafas beberapa kali saat melihat Rio dari kejauhan tengah tersenyum kearahnya. Ia memegangi dadanya merasakan detak jantungnya yang kembali bekerja lebih keras.
"Tenang Fy, tanang.. Rio sahabat lo, jangan ngerusak persahabatan ini." Ucap Ify dalam hati, ia mencoba bersikap normal.

"eeeittsss .. buru-buru banget non sampe nggak liat orang ganteng disini." ucap Rio saat Ify melewatinya begitu saja,dengan kasar ia menarik tas Ify dari belakang.

"Apasih maritem gue lagi gak mood deket-deket lo. ntar nular lagi." jawab seenaknya ia kembali berjalan tak menghiraukan Rio.

"Maritem apa Fy? oh ya Virus cinta lo ke gue kayaknya udah nular duluan deh." Rio mengikuti Ify dari belakang.

Ify terpaku mendengar penjelasan Rio barusan, virus cinta? nular?
"Mak.sud lo..?" tanya Ify heran ia menghadap Rio dan memiringkan kepalanya
"Maritem apa Fy." jawab Rio pelan,matanya terus menatap manik mata Ify, mencari celah untuk membuktikan dimana letak cinta itu berada.
"Udah lah yo, gue lagi males berantem. Gue masuk ya." pamit Ify, ia memalingkan wajahnya saat Rio menampakkan kekecewaan yang tergambar jelas pada mata Rio. Dengan segera ia melangkah menuju kelasnya.

"Kenapa lo gak pernah bilang semua ini Fy? Kenapa lo sembunyiin ini dari gue? Kenapa lo diem waktu gue bersama cewek lain?" teriak Rio menghentikan langkah Ify. Perlahan Rio menghampiri Ify yang masih membeku ditempat. Tangannya ia tautkan pada jari-jari manis Ify.
"Gue juga suka sama lo." ucap Rio setelah berhasil menautkan kesepuluh jarinya bersama Ify. Ia tersenyum saat Ify memandangnya tak percaya.
"Lo.. maksud nya apa Yo? ini bukan april mop kan?" tanya Ify bingung, ia mencoba melepaskan tangannya namun gagal.

"Gue suka sama lo, gue gak bakal ninggalin lo, gue bakal tetap jagain lo apapun alasannya."

"Gimana bisa lo tau.. ten.."

"Ini.." ujar Rio menaikkan alisnya, tangannya menunjukan kertas yang pernah Ify buang di taman dulu.

Ify membelakkan matanya-lagi- saat Rio tiba-tiba mencium pipinya, menunduk mencoba menyembunyikan rona merah diwajahnya.
"Gue...."

"Ciiieee, kantin udah buka kayaknya. Kesananya yukk. Sekolah juga libur lagi. HAHAHAHA" suara cempreng Anin membuat Rio dan Ify menoleh seketika, Rio menggeram kesal kearah Anin yang terlihat cengengesan, sedangkan Ify hanya menunduk, merutuki Anin yang datang disaat yang tidak tepat.

"Mau rumah sakit atau kuburan Nin?" tanya Rio santai(sok) saat Anin menggandeng tangannya dan tangan Ify.
"Gue cuma mau makan yo. Ayook." teriak Anin semangat sambil menyeret pasangan baru menuju kantin.

Ify hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya dan melirik Rio yang juga tengah melirik kearahnya dengan senyuman tulus dibibirnya yang juga ia balas tak kalah manis.
*****
Hari berganti hari begitupun bulan yang terus berlalu. Sudah tiga bulan Rio menjalani status pacaran dengan Ify, perasaan bangga memiliki Ify membuat ia enggan melepas Ify begitu saja.

"Rio Rio Rioo. buruan sudah siang nih.Ayoo takut matahari nih akunya." suara emas(?) Ify memanggil dengan manjanya.
"Yuukk. aku anter pulang ya?" tanya Rio, ia merangkul pundak Ify dari samping. Membiarkan teman-temannya menggigit jari karena tak punya pasangan.
"Oke deh, kamu belum pernah ketemu Mom juga kan?? Kebetulan mom dirumah nih." jawab Ify senang, ia melingkarkan tangan kirinya kepinggang Rio dengan mesra.

Rio hanya tertawa, melihat tingkah gadisnya. Dengan sayang tangan yang semula berada dipundak Ify kini beralih mengacak rambut Ify gemas.

"Letttsss go.." teriak Rio, ia menggandeng tangan Ify erat dan mengajak berlari bersama dirinya menuju tempat parkir dengan iringan tawa yang begitu indah dari pasangan ini.
*****
Rio terpaku melihat rumah didepannya ini. Rumah ini
"Ayo Yo kok malah bengong sih. Masuk yuk ketemu Mom. Mom pasti seneng deh ketemu kamu." ajak Ify mengagetkan Rio yang tengah memikirkan sesuatu.
"Eh.. anu Fy, maaf aku sakit perut nih. Aku buru-buru udah gak tahan, lain waktu aja ya ketemu Mom kamu." ucap Rio mencari alasan, ia memandang kearah Ify, mencoba meyakinkan gadisnya.
"Yahh padahal aku udah seneng loh kamu mau ketemu Mom. Gakpapa deh janji ya, kesini lagi kudu mampir." Ify memandang Rio sedih dan mendekat kearah Rio, mencium pipinya sekilas sebelum akhirnya masuk kedalam rumah.

Rio memandang punggung Ify yang tertelan pintu rumahnya. Rumah yang baru menyadarkan Rio, rumah tante Runa calon nyokap tirinya. Dengan kasar, ia mengendarai mobilnya cepat menuju rumahnya, ia ingin bertemu papahnya sekarang.

Sampai rumah, Rio langsung membuka pintu dengan brutal, entahlah setan apa yang merasuki akal sehatnya sehingga ia berbuat seperti ini.
"Pah.. PAPAH.." teriak Rio kalap, ia mencari dikamar serta ruang kerjanya namun nihil, dengan langkah yang memburu Rio berjalan menuju taman belakang rumahnya. Dan lagi-lagi Rio harus menelan keterkejutan pahit ini. Didepannya, sang papah sedang menangis menatap foto ibu kandung Rio, dengan disebelahnya foto tante Runa yang juga menjadi Mom Ify tergletak persis dipangkuan papahnya.
Seketika itu, amarahnya untuk menghentikan acara pernikahan papa dengan tante Runa hilang, terganti dengan perasaan sedih melihat papahnya yang semakin tua tanpa ada yang merawat. Rio tak mau melihat papa hanya diam menangisi kepergian ibu, ia tak mau melihat orang yang paling ia sayangi harus merelakan kebahagiannya demi dirinya, dengan pelan Rio berjalan menuju kamarnya, hatinya bimbang untuk memilih kebahagiannya sendiri atau kebahagian orang yang selalu membuat hidupnya sempurna.
*****
Ify kembali menangis dalam pundak Anin, yah semenjak Rio pulang dari rumahnya sampai sekarang Rio belum pernah memberi kabar, bahkan ketika bertemu dengannya Rio selalu menghindar seolah-olah tak mengenalnya.
"Gue harus gimana Nin?" tanya Ify sesenggukan. Ia terus menangis pada bahu Anin.

Anin mengusap punggung Ify pelan, menenangkan sahabatnya
"Lo minta penjelasan ke Rio, gue gak mau liat lo nangis lagi kayak gini. cukup hari ini aja Fy." tegas Anin, ia mengangkat kepala Ify dan menghapus airmata yang masih menetes dipipi Ify.
"Kalo lo gak mau nemuin Rio, gue bakal cari Rio sendiri buat lo." lanjut Anin melembut, ia tersenyum kearah Ify dan merangkul erat sahabatnya.

"Makasih lo selalu ada buat gue, makasih lo mau dengerin cerita gue,makasih lo mau ngasih bahu lo buat ngeringin airmata gue dan makasih untuk semuanyaa." Ify mengusap airmatanya dan kembali merangkul Anin dengan airmata yang terus membanjiri pipinya.

-Sahabat sejati adalah orang yang tanpa berfikir duakali untuk membantu sahabatnya.-
*****
Hari ini, hari dimana Mom dan Om setta menikah, yah setelah beberapa minggu bergulat dengan kesedihannya, Ify memutuskan untuk Move On dari Rio, ia sudah cukup tersakiti dengan melihat Rio bersama wanita lain. Walaupun tak dapat dipungkiri ia masih belum bisa melupakan kenangan yang Rio beri untuknya.

Ify tersadar saat tangan Anin menyentuh pundaknya,rupanya ia sudah terlalu lama termenung.
"Mempelai laki-lakinya sudah datang." bisik Anin lembut, ia menarik Ify untuk melihat orang yang mungkin Ify sayangi sampai saat ini.

Ify terkejut melihat laki-laki tampan disebelah Om Setta, laki-laki yang mengisi hatinya samoai saat ini, laki-laki yang ia benci sekaligus laki-laki yang ia cintai tengah berdiri mendapingi Om Setta. Dan ia kembali mengingat bahwa Om Setta mempunyai anak laki-laki yang sepantaran dengannya.

Anin merangkul pinggang Ify erat ketika mengetahui ada sorot kekecewaan yang terpancar jelas dari mata Ify, ia tau sangat tahu untuk siapa sorot itu Ify berikan.
"Rio jadi saudara tiri gue Nin." ucap Ify perih, matanya menandang penuh kekecewaan pada sosok tinggi tegak itu.
"Jangan nangis. gue tau lo pun bakal ngelakuin hal yang sama jika lo tau Mom menikah dengan papah nya Rio." ucap Anin lembut dan membawa Ify ke taman belakang hotel yang diadakannya pernikahan ini.

Anin membiarkan Ify larut dalam pikirannya, ia tahu Ify butuh sendiri saat ini. Ia beranjak ketika melihat Rio yang tengah berjalan kearahnya.
"Dia butuh lo." ujar Anin dan pergi meninggalkan mereka berdua untuk sama-sama memecahkan masalah yang ada.

"Fy,," panggil Rio; membuat Ify menoleh kearah Rio yang kini sudah duduk disampingnya.
"Maaf, maaf buat sikap gue ke elo, gue tahu gue salah, tapi emang ini yang terbaik buat kita berdua." ucap Rio pelan, ia memandang kolam ikan yang ada didepannya.
"Gue juga kecewa kayak lo, gue juga cinta sama lo dan begitupun sebaliknya, tapi gue tahu bokap gue lebih butuh nyokap lo.."

"Gue tahu sangat tahu Yo, mungkin gue cuma butuh waktu buat nerima keadaan ini. Sekarang lo boleh pergi." ucap Ify memotong pembicaraan Rio, ia sudah tak kuat disini. ia ingin cepat-cepat Rio meninggalkan dirinya disini sendiri. 
"Fy, pliss lo jangan siksa diri lo sendiri, gue juga sama kayak elo tapi gue selalu nguatin diri gue buat selalu tegar. Gue mohon sama lo, kita sama-sama nyembuhin luka ini. Kita sama-sama membuang rasa yang lebih ini." bujuk Rio, ia menghapus airmata Ify dan mencium kening gadisnya untuk terakhir kalinya.

"Jadi adik yang baik dan membanggakan buat gue." pinta Rio, ia dengan segera mendekap Ify erat, yahh Ify gadis yang ia sayangi sebagai adik tirinya sekarang.

-Hidup itu seperti  air yang mengalir, sekeras apapun ombak menerjang, ia akan tetap mengalir mengikuti arusnya. Seperti itu juga kehidupan, seberat apapun cobaan, ia akan tetap berjalan sesuai garis hidup yang telah digariskan.-

THE END

L&C jangan lupa ya:D

admn 2

Sabtu, 19 Juli 2014

Menunggu (Cerpen)

Follow twitter author: @_khurul / 79D03189
Fb :: Anindya Khurul (wkwkwk berasa buka lapak)

Happy Reading guyyysss !!

******

Aku melangkah meninggalkan sebuah kenangan, kenangan manis antara aku dan kamu. Dengan derap yang memburu Via melusuri jalan dengan teriknya sinar matahari.

"Apa hanya segini rasa sayang kamu ke aku Yel?" gumam Via ditengah perjalanan perihnya. Niatnya ingin menjemput orang yang paling ia cintai namun apalah mau dikata jika ternyata orang yang ia jemput tengah menggandeng gadis yang lebih darinya.

"Seharusnya aku sadar jika kamu telah bersama dia bukan aku. Disini memang aku yang bodoh Yel, mengharapkan seseorang yang benar-benar tidak mengharapkan kehadiran aku." Via menghapus jejak airmata yang menetes melalui sudut matanya,rasanya sakit ketika melihat orang yang paling ia cintai dan orang yang paling tunggu ternyata tak menoleh sedikitpun kearahnya.

"Aku ikhlas kalau memang kamu memilih dia, asal kamu juga bahagia."

******

Gabriel menarik ujung bibirnya, membentuk siluet senyuman manis, ia menolehkan kepalanya dan mengangguk ketika ada seorang perempuan cantik yang tengah memandangnya bingung, ada rasa bangga ketika ia menggandeng tangan halus perempuan cantik ini. Yah gadis ini Arlena Matswaya yang telah membuat Gabriel rela meninggalkan gadis lamanya didesa ini. Desa Benda di Kabupaten Brebes.

Ada mata yang memandangnya kecewa tatkala Gabriel turun dari kereta Kamandaka yang menghubungkan Semarang - Brebes, ia melihat gadis yang terpaku di tengah keramaian stasiun, menatap lurus kearahnya dengan gumpalan kekecewaan yang tercetak jelas dalam pancaran sinar matanya.

Dengan gagah Gabriel menautkan jarinya di sela jari-jari Swaya yang kini melangkah pasti disampingnya, mengiri langkah Gabriel.

Gabriel melirik sekilas kearah gadis yang tengah menatapnya dengan mata yang amat terluka, melewati begitu saja tanpa ada niat menyapa ataupun sekedar menoleh untuk memastikan jika gadis itu, gadis yang ia cintai dulu namun ia lukai untuk waktu sekarang. Ia berjanji ini takakkan lama.

Swaya menarik pelan pinggang Gabriel agar lebih mendekat kearahnya, dengan suasana sepagi ini dan memang suhu udara yang cukup dingin untuk wilayah desa Benda, membuat Swaya melingkarkan lengannya kepinggang Gabriel, ia tak biasa dengan suhu yang cukup dingin ini.

Gabriel tersenyum melihat tingkah gadis disampingnya, dengan lembut ia membalas melingkarkan lengannya dipinggang Swaya, mengelus pelan lengan Swaya dan mengecup puncak kepalanya dengan mesra. Tak memperdulika gadis yang berada dibelakangnya yang tengah memandang dengan pandangan tak percaya.

******

Flashback

Diatas hamparan bukit ini, kedua insan ini memutuskan untuk saling menunggu dan ditunggu,
"Aku sayang kamu yel." ucap Via lirih, matanya tak lepas dari pandangan Gabriel

"Aku tahu " Gabriel tersenyum dan mengacak rambut Via pelan, ia tak mau memberi harapan kepada Via, beban yang ia pikul sekarang jauh lebih berat daripada mmemikirkan perasaannya sendiri, walau tak bisa ia pungkiri jika dirinya mempunyai perasaan sama seperti Via.

Via tersenyum miris ketika Gabriel tak mau membalas perasaannya, ia tau sangat tau.
"Kamu itu mudah dicintai tapi sangat sulit dimiliki yel." ujar Via ditengah keheningan yang ada.

"karena aku bukan kamu Vi, aku masih punya tanggung jawab untuk membahagiakan Ibu dan adikku."

"Dan memilih mengesampingkan perasaan yang kamu miliki untuk aku Yel?" Via mendongak menatap Gabriel yang tengah memandang lurus kereta api yang tengah melintas.

"Sepertinya begitu." Gabriel menghela nafas panjang, ia menoleh kearah Via dan langsung merengkuh tubuh gembul(?) yang ada disampingnya ini, memberitahu Via, jika dirinya pun mempunyai rasa yang sama terhadap Via. Namun ia harus rela melepas Via demi bisa membahagiakan Ibu dan adiknya.

Via terisak pelan dan semakin mengeratkan pelukannya pada Gabriel, ia tahu jika Gabriel pun tak bisa meninggalkan dirinya,terlihat dari rengkuhan yang semakin erat.

Gabriel melepas pelukannya dan menangkup wajah Via dengan kedua tangannya, menghapus airmata yang mengalir dengan ibu jarinya, menatap dalam mata Via, ia ingin Via tau jika dirinya sangat berat melepas orang yang paling berharga dalam hidupnya setelah orangtuanya.

"Aku mau nunggu Yel.." jawab Via sambil terisak, tangannya menyentuh tangan Gabriel yang menangkup wajahnya, meremas pelan.

"Jangan tunggu aku Vi, masih banyak laki-laki yang pantas buat kamu, aku tidak mau memberi kamu kepastian dengan mengijinkan kamu tetap menunggu aku."

"Aku tak tau mas, tapi satu hal yang pasti, aku tetap akan menunggu kamu walaupun kamu gak mau  ditunggu." jawab Via yakin.

Dalam hati Gabriel menangis melihat gadis yang paling ia cintai menangis untuk dirinya, ia tau pasti apa arti  tangisan wanita, gadis ini-Via- ingin dibahagiakan oleh dirinya, orang yang Via tangisi.

Entah bagaimana, bibir Via dan Gabriel kini sudah menyatu, menyalurkan rasa yang mereka punya melalui kecupan-kecupan lembut yang mereka rasakan. Memberi kehangatan dengan tangan mereka yang saling menyatu, dan memberikan kekuatan untuk tetap bersabar menunggu ditengah ketiadakpastian.

Flashback off

*****

Via kembali menangis melihat realita yang ada, bahwa dirinya selama ini tak ada artinya dalam kehidupan Gabriel, dengan kasar ia menghapus jejak airmata yang akhir-akhir ini menemani harinya.

"Vi..."

Panggilang sang Bunda membuat Via segera memperbaiki penampilan dirinya agar tak terlihat kacau.

Bunda masuk kedalam kamar Via, kamar yang bernuansa biru warna kesukaan Via.
"Kamu lagi ngapain ndok, bunda panggil-panggil nggak ada jawaban."

"Ini bun, Via lagi cari gelang nih tapi gak ketemu." elak Via mencoba menghindar.

"Kamu ada masalah Vi? Mata kamu kok bengkak begitu? Nangisin apa memangnya." tanya Bunda lembut, ia duduk dipinggiran kasur disamping Via.

Via hanya menatap bunda nya sekilas dan langsung menggeleng, namun sedetik kemudian isakannya keluar, memang dirinya tak pandai menyembunyikan sesuatu kepada bunda.

Bunda terlihat bingung ketika mendapati putrinya tersengal menahan isakannya, namun ia sadar ada yang melukai hati putri nya ini. Karena ia ingat betul, terakhir kali Via menangis saat Gabriel pergi keluar negeri karena mendapatkan beasiswa.

"Kamu nangis dulu aja, bunda tungguin kok. Tapi kamu harus cerita sama bunda ya" Bunda mengusap pelan rambut Via, dengan posisi kepala Via yang bersandar pada bahu Bunda, Via menangis kencang, Via tak perduli baju Bunda nya yang basah oleh air matanya, usapan bunda pada rambutnya membuat Via sedikit demi sedikit mulai bisa mengontrol tangisnya. Mungkin ini yang namanya sakit hati. Rasanya percuma ketika Via telah menggantungkan rasa cintanya pada Gabriel, namun ternyata Gabriel tak pernah mencintai Via.

"Gabriel pulang bunda.." suara Via terdengar serak, bahkan isakan Via masih sangat jelas.

"Kemarin Via nungguin Gabriel di stasiun, Via sengaja datang sebelum subuh, tapi.. pas. kereta yang.. yang Gabriel naiki berhenti. ter.nyata. Gabriel . sama cewek lain bun." lanjut Via sesenggukan, ia kembali menangis dan merangkul erat bundanya, ini kedua kalinya Via menangis seperti ini oleh laki-laki yang sama yaitu Gabriel

"Vi, kamu itu harus lebih pintar nahan emosi kamu. Bunda sudah sering bilang kan sama kamu bahwa wanita hebat itu mengandalkan perjuangan bukan air mata. Perjuangan untuk dicintai dan dimiliki. Kalo kamu tetep seperti ini, Bunda yakin Gabriel akan bener-benar pergi ninggalin kamu." nasihat Bunda, dengan telaten Bunda mengangkat wajah Via dari pundaknya, menghapus airmatanya dan menyelipkan sejumput rambut kebelakang telinganya.

"Tapi bun, Via beneran lihat Gabriel nyium kening ceweknya koq, mana pake acara peluk segala." jawab Via cemberut.

"Kamu kerumah Gabriel gih, minta penjelasan. Itung-itung perjuangan kamu buat dapetin Gabriel lagi."

"Bunda ihh.. Masa gitu nyuruh anak ceweknya nyamperin laki. Ogah ah." Via kembali merangkul pundak bundanya, menyembunyikan wajah sembabnya pada punggung sang bunda.

"Kamu masih manja aj___"

Tok tok tok
Bunda dan Via hanya saling pandang mendengar pintu rumahnya diketuk. Dengan segera, Via melepas rangkulan bundanya dan menggeser duduknya.
"Bukain gih bun pintunya." perintah Via dengan suara serak, khas orang menangis. Via tertawa pelan ketika bunda mendumel tak jelas karena ulahnya.

Via membaringkan tubuhnya dikasur, penat yang dirasakan seolah menghilang setelah berbagi dengan sang bunda. Dan kini ia harus memikirkan perjuangan yang dimaksud Bunda. Via harus bisa mencari celah untuk bisa kembali pada Gabriel. HARUS !!!

"Vi, ada tamu tuh." ucap Bunda dari luar pintu. Hanya terlihat kepalanya.

"Mager ahh Bun, suruh pulang aja. Paling juga mau ngasih surat cint.."

"VIA.." potong Bunda keras.

Dengan kesal, Via beranjak dari kasurnya dan keluar menemui tamunya, bahkan Via tak perduli dengan rambut macan serta wajah merah dengan mata yang bengkak.
Bunda menggeleng tak mengerti dan langsung pergi kebelakang, menyelesaikan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga.

*****
Via membuka matanya lebar ketika melihat orang yang ada didepannya ini. Perempuan ini.

"Kamu.. ngap.pain kesini?" tannya Via sedikit kaget.

"Mau ngingetin lo." jawab Swaya seenaknya. Ia lantas duduk di sofa ruang tamu rumah Via.

Via yang kaget dengan kehadiran Syawa hanya mengikuti saja apa yang dilakukan perempuan itu.

"Kamu cewek yang nunggu Gabriel?" tanya Swaya blak-blakan. Ia menatap penuh garang pada Via, jelas sekali kalo memang Syawa tak menyukai Via.

Via yang sudah sadar dari keterkejutannya membelak lebar mendengar pertanyaan Syawa. Lancang sekali gadis ini.
"Maksud anda apa yah berbicara seperti ini pada saya." Via balik bertanya, mencoba membalikkan keadaan. Ia tak mau ditindas oleh Syawa dalam rumahnya sendiri.

"Gak usah sok gak ngerti !! Kamu cinta kan sama Gabriel? Kasian sekali kamu, menggantungkan kebahagian pada orang yang sama sekali nggak cinta kamu !!" semprot Swaya tenang, ia tau dirinya bisa dengan mudah menjatuhkan gadis kampung ini.

Via menatap tak percaya pada Swaya-lagi- dengan mudahnya Swaya mengatakan hal itu. Rasanya setelah mendengar perkataan Swaya, Via sadar jika memang dirinya terlalu berharap pada orang yang salah, ia sudah lelah menunggu dengan ketidakpastian, dan sekarang ia tahu sakitnya hidup dalam ketidakpastian cinta. Sekuat tenaga, Via mencoba membalas tatapan kejam, mencoba menahan deraian airmata karena perkataan yang bagaikan silet dalam hati Via.

"Dan inget !! Gabriel sudah punya gue untuk menggantikan lo gadis desa." desis Swaya tak suka dan melangkah meninggalkan Via yang masih terpaku.

Via melihat punggung Swaya yang keluar dari rumah sederhana miliknya, entah kenapa tubuhnya merosot begitu saja dalam sandaran sofa ruang tamu, airmata nya kembali meluncur dengan sendirinya, ia tak mau menghapus airmata ini, biar lah airmata ini menjadi saksi sebesar apa Via mencintai Gabriel dan sebesar apa gadis milik Gabriel ini meruntuhkan hatinya.

Via mencoba memejamkan matanya,ketika ada tangan hangat yang mengusap lembut pundaknya, dengan segera Via menjatuhkan tubuh mungilnya dalam pelukan Bunda.
"Sesakit ini ya Bun untuk mencintai orang yang sama sekali tidak melihat kita. Hati Via sakit bun, sakit. Kayak ada yang nusuk dan itu dalem banget."

Bunda hanya diam mendengar penjelasan putrinya.
"Sudah nggak usah nangis, percuma kamu Vi ngeluarin airmata kamu berulang kali untuk Gabriel yang tak pernah tahu bahwa kamu menangisinya."

Via yang mendengar itu malah semakin sesenggukan dalam pelukan bundanya,
"nyatanya ketika ada bahu hangat yang merengkuhmu dan mengatakan jangan menangis, kamu malah semakin mengeluarkan air matamu."

Happy birthday to you
Happy birthday to you

Nyanyian lagu selamat ulang tahun membuat Via melepas pelukan hangat Bunda dan menoleh kearah pintu, melotot tak percaya dengan kehadiran pria didepannya.

Gabriel kini berdiri tepat didepan dirumah Via, membawa kue ulangtahun yang cukup besar ditangannya, dengan cengiran yang tercetak jelas pada wajahnya. Disampingnya, gadis tadi -Swaya- yang telah melukai hatinya dengan mulut tajamnya tengah tersenyum manis kearahnya dengan sebuket bunga ditangannya.

"Happy birthday. Ayo tiup lilinnya." ucap Gabriel senang.

"Etttsss, pejamin mata dulu biar afdol." tambah Swaya dengan wajah yang bersahabat.

Via yang bingung dengan keadaan ini hanya menatap kue yang dibawa Gabriel, sesekali ia mengangkat wajahnya untuk melihat lebih jelas kadar kegantengan yang semakin tinggi.

"Ayo Vi,tiup lilinnya."

Seruan Bunda membuat Via tersadar, dengan segera walau masih bingung Via meniup lilin dengan sekali hembusan.

"Yeaaayy !! Happy birthday calon kakak ipar, jangan nangis lagi ya." suara milik Syawa terdengar begitu ceria dan semangat. Syawa mengambil alih kue yang dibawa Gabriel dan membawanya kebelakang rumah Via dengan diikuti Bunda.

Gabriel tersenyum kearah Via yang masih melihat lorong yang menghubungkan dapur dan ruang tamu.

"ehhem.." dehem Gabriel, mencoba mengalihkan perhatian Via.

Via segera menoleh kembali kearah Gabriel yang tengah tersenyum kearahnya. Suasana benar-benar hening karena diantara mereka tak ada yang membuka suara.

Dan tiba-tiba tubuh tegap Gabriel sudah menyelimuti tubuh Via, menyalurkan kerinduan yang mereka pendam selama beberapa tahun, dan memberi penegasan pada Via, jika Gabriel kembali untuknya bukan orang lain.

"Aku kangen kamu." bisik Gabri pelan didekat telinga Via, tangannya kembali mengeratkan pelukannya pada Via. Terobati sudah kerinduannya selama ini.

"Aku cinta kamu Yel." dan merekahlah Via dalam pelukan hangat .

"Aku mencintaimu dengan sederhana, bukan karena siapa dirimu melainkan apa yang membuat ku ingin tetap berada bersamamu."

-Gabriel-

THE END